Pages

aruna avara mulai merasa..

Jalan cikapundung, 18 februari 2009

Hari itu jam 3 sore, avara sibuk mengobrak abrik majalah-majalan bekas sambil jongkok. Beberapa meter dari sana ada sosok aruna memegang kamera. Membidik potret jalan cikapundung yang berisi jajaran emperan pedagang penjual buku-buku dan majalah bekas, dengan latar jalanan bandung yang tua tapi selalu eksotis. Tapi tak hanya itu ia memanggil avara berkali-kali mendokumentasikan wajah polos avara yang kaget karena dipanggil tiba-tiba.

“udah ah ru…ga bosen apa foto-foto terus? bantuin cariin dong. Majalah pariwisata Indonesia. Apa aja deh..” ujar avara.
“iya neng..bentar-bentar….” Aruna malah sibuk memotret bapak-bapak tukang parkir, bapak-bapak tukang stempel, ibu-ibu penjaga kios rokok.
“tuh kan..ga denger. Neng cari sendiri aja ahh…” avara mulai mengeluarkan jurus jitu andalan kaum hawa. Merajuk.

Aruna langsung melepaskan kameranya, dimasukan dalam ransel dan siap membantu aruna. Sejam lamanya mereka bolak-balik jalanan cikapundung. Aruna malah sempat berkenalan dengan beberapa tukang dagang. Dan bercanda
“jagain kios buku mah hebat atuh ya kang…udah kebeli berapa mobil kang?
“si aa mah..sok nyindir kitu. Yah rezeki mah alhamdulilah, disukuri weh sampe ka sekarang mah a”
“udah ah aru…mau hujan, kayanya majalah nya juga udah cukup” sela aruna.
“hayu hayu neng…mangga kang. Tipayun!” sahut aruna

Aruna dan avara sudah mulai menelan pemahaman tentang satu sama lain. Lebih banyak karakter satu sama lain yang dikenal, lebih terikat keduanya. Avara mulai mengetahui bahwa diam-diam aruna suka memotret, membuat ia menempelkan lagi satu bintang kebanggaan pada diri aruna. Aruna mulai mengetahui bahwa avara itu kutu buku cantik yang senang sekali diam di balik sarangnya. Membaca semua. Melahap apa saja dari setiap lembaran. Dan itu membuat aruna merelakan diri untuk meniti setiap jalinan benang kusut dalam diri avara. kusut tapi tetap indah.
Beberapa menit berjalan beriringan, mereka berdua sampai di perempatan jalan. Gerimis mulai menemani iringan langkah mereka berdua.
“hayu neng..bentar lagi ujannya ngegedean..”

Cukup sekilas, jari-jari aruna bertemu dengan telapak tangan avara. merengkuh setiap seluk jemari, mengisi sela diantaranya dengan kehangatan. Dan tangan mereka akhirnya bergenggaman.
Avara hanya diam, pura-pura menunduk agar pipinya yang merona tanpa perintah tidak kentara di mata aruna. Aruna pun hanya diam, sambil terus berjalan ia tahu rongga dadanya sekarang sedang dimasuki bulir-bulir keindahan yang terselip diantara oksigen yang ia hirup.

Seketika itu, Avara tau aruna lah yang menjadi perintah agar pipinya merona merah muda. Seketika itu, Aruna tau avara lah yang menjadi bulir-bulir keindahan yang tak akan ia bosan hirup sepanjang jalan.

btemplates

0 comments: