Pages

payung [pelangi]

pernah merasa kadang-kadang kita terperangkap oleh sebuah keteraturan yang terlalu berpola, yang seringkali memaksa kita merasa sebagai sebuah mesin.
menjalani kegiatan monoton seperti itu lagi. itu lagi.
bangun pagi, mandi, sarapan, nonton tipi, lalu pergi.
pergi menjalani sebuah jalan.. yang berulang terus setiap hari.
menghindari bolong yang sama lagi setiap kali, dan mengantarkan lagi ke perempatan jalan yang tidak berubah sama sekali.

saya telan semua keteraturan itu. melewati jalanan yang sama.
kemacetan di titik yang sama
perempatan dengan lampu merah yang sama
dan sosok itu yang masih juga duduk berpayung dalam posisi yang sama
seorang nenek
yang selalu disana
yang selalu berpayung disana
yang selalu berpayung pelangi disana
yang selalu berpayung pelangi dan sebuah kaleng disana
yang selalu berpayung pelangi dan sebuah kaleng dan sehelai dus disana
jam 8 pagi, jam 9 pagi, jam 1 siang dibawah matahari, jam 4 sore sangat langit bermandi warna pelangi.
duduk diatas lembaran dus dan diam
memperhatikan jalan,
memperhatikan orang lalu lalang. dan
diam.
tanpa majalah sebagai pembunuh waktu
tanpa peralatan on-line apapun
ataupun apa itu yang bisa menemani.

saya selalu menelan pemandangan itu setiap hari,kadang-kadang menjatuhkan lembar seribuan atau beberapa logam yang terselip di saku belakang celana. sudah 70 tahun mungkin usia si nenek.

siang tadi, saya hanya melihat dua buah logam didalam kalengnya, satu tangan memegang payung besarnya yang selalu menutupi wajahnya.
lantas ada sebuah keiginan kuat dari saya.
bagaimana kalau saya datang ke perempatan ini jam 6 pagi.
apakah si nenek sudah ada disana?
atau apakah saya akan melihat si nenek dipapah bos gelandangan yang sengaja mengantaran si nenek duduk diatas dus saktinya, untuk selanjutnya dijemput kembali saat malam nanti?
apakah malah dia berjalan kesana sendiri, membuka payung sendiri dan duduk dengan rela sendiri?

mungkin itulah peran dia..
menjadi penonton jalanan yang sibuk diisi dengan para pencari uang yang entah kemana uangnya selalu hilang
menjadi ppenikmat drama perempatan yang dilalui para oragtua mengantar anaknya, atau seorang pria mengantar kekasihnya atau seorang anak mengantar ibunya
menjadi pengisi semua keteraturan saya. yang pasti akan sedikit sumbang jika suatu hari nanti tidak ada sosoknya yang terduduk disana.

suatu pagi nanti. saya janji akan datang lagi



btemplates

5 comments:

suryaden mengatakan...

sebuah catatan yang terlalu sangar bagi saya...

Ge Siahaya mengatakan...

Perenungan yg pastinya sangat panjang sebelum terlahir menjadi tulisan ya Uni? Dan dalam.

chairani uni mengatakan...

@mas suryaden: sangar kenapa itu mas?

@G: iyah dalam. sampai harus menunggu sehaian untuk menumpahkannya

J O N K mengatakan...

kalau begitu, mendingan jangan terlalu di resapi mba, biarkan semuanya berjalan walaupun memang membosankan ...

Joojo mengatakan...

hi mba uni...(udah mbak Uni lagi wkwkww)ia pemandanag kota yang miris...disaat hari tua masih mencari nafkah...sendiri....tapi koq ndak ditrusin mbak...gmana kan ktnya mo ksn jam 6 pagi pa nih kelanjtannya apakh emang nenek itu melakukannya sendii atau ada bos nya????
saia jd teriingat dengan teman saia.."tyan" namanya dia selalu melarang saia memberi sedekah di jalanan....alasanya cukup masuk akal...di terlanjr kecewa karena suatu ketika dia perna memberi seorang anak kecil sedekah..tapi beberapa saat kemudia ia mendapati anak kecil tadi telah menghampiri orang tuanya "mungkin" yang seang asyik menikmati nasi bungkus di pinggiran jalan....dan si anak kecil hanya mendapa sisa dari orang tuanya itu....makanya dia benar benar marah dan nggak mau lagi memberi sedekah..laian kan masih banyak tempat yang tepat untuk memberi sedekah....

salam hangat
-joni-